SELAMAT DATANG DI WEBSITE CYBER EXTENSION BADAN PENYULUHAN DAN KETAHANAN PANGAN (BPKP) KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG

Selasa, 24 Mei 2011

PETUNJUK “LONTARA ALLAORUMANG” ADAT BUGIS-MAKASAR

Posting oleh: Syamsul Rizal, SP
dikutip dari: Ahmad Yani (Fajar: Jum’at,13 Mei 2011)


Petani Bugis – Makassar dapat meramal Produksi Padi
melalui Buku “LONTARA ALLAORUMANG”
      Petani Bugis – Makassar dapat meramal produksi padi melalui buku “Lontara Allaorumang” yang membahas pengetahuan tradisional yang berhubungan sistem bercocok tanam berlandaskan fenomena alam, khususnya iklim, rotasi bumi, posisi bintang, tumbuhan dan hewan yang dikaji dalam rentang waktu lama. Bagi masyarakat Bugis, lontara adalah “buku panduan” yang menerangkan berbagai hal berkaitan dengan sistem bercocok tanam padi, mulai dari penentuan waktu tanam (mappalili), persemaian (mappatinro bine), penanaman dan pemeliharaan dan perlakuan pascapanen.
      
     Dalam lontara diterangkan bahwa kondisi iklim untuk bercocok tanam (agro-klimat) selalu berubah-ubah dari tahun ke tahun selama 8 tahun (dekade) atau “sipariame” berdasarkan penamaan tahun yang dikenal di dalam lontara yakni tahun alif, ha, jim, shod, dal-riolo, ba, wau, dal-rimonri. Masing-masing tahun ini memiliki karakteristik berbeda-beda terhadap curah hujan, hari hujan, panjang musim kemarau, lama penyinaran, serangan hama penyakit, yang semuanya mempengaruhi produktivitas pertanian.

Pertanaman dalam mendukung P2BN
      Karena itu petani Bugis, khususnya di Sidrap (Sidenreng Rappang) sebelum memasuki musim tanaman, biasanya mereka melakukan musyawarah “Tudang Sipulung”. Dalam musyawarah ini dibahas masa awal tanam dengan merujuk ke Buku Lontara yang berisi fenomena alam berupa tumbuhan dan perbintangan. Kedua tanda dan isyarat ini secara detail dijelaskan dalam Lontara Allaorumang.

      Lontara adalah salah satu khasanah ilmu pengetahuan yang kaya dengan kearifan lokal (indegenius knowledge) yang belum banyak dikaji apalagi dimanfaatkan sebagai pertimbangan kebijakan sektor pertanian oleh stake holder, padahal ada kemungkinan pengetahuan tradisional tersebut ada benarnya dan dapat dimanfaatkan untuk peningkatan hasil pertanian, proyeksi hasil pertanian dari tahun ke tahun dan dapat dimanfaatkan untuk mendukung program pemerintah dalam swasembada dan ketahanan pangan nasional.

Iklim dan Produktivitas versi Lontara
     Seperti disebutkan di atas bahwa klasifikasi dan karakteristik iklim dan curah hujan versi lontara ada 8 (delapan) siklus tahunan dan juga 8 (delapan) kualitas dan kuantitas karakter curah hujan, hari hujan, lama penyinaran, penyebaran hama/penyakit dan proyeksi produktifitas hasil pertanian, khususnya padi. Adapun kriteria iklim berdasarkan lontara adalah sebagai berikut:
  1. Tahun Alif – kemarau lebih awal dan pendek, intensitas hujan tinggi, produktivitas padi tinggi.
  2. Tahun Ha’ – kemarau lebih awal, intensitas hujan sedang dan produktivitas pertanian sedang.
  3. Tahun Jim – intensitas hujan rendah, angin bertiup kencang, kemarau agak panjang, produktivitas pertanian rendah.
  4. Tahun Shod – intensitas hujan tinggi, terjadi banjir, hama tikus menyerang tanaman padi, intensitas penyinaran cukup tinggi dan angin bertiup kencang, produksi rendah.
  5. Tahun Dal Riolo – musim hujan lebih cepat, kemarau cukup panjang, persawahan kekeringan dan produksi sedang.
  6. Tahun Ba’ – kemarau lebih cepat, musim hujan pendek, produktivitas pertanian cukup tinggi.
  7. Tahun Wau – intensitas hujan panjang, banjir, hama menyerang (khususnya tikus dan walang sangit), intensitas angin cukup tinggi, produksi pertanian rendah.
  8. Tahun Dal Rimonri - musim hujan pendek, kemarau panjang, angin bertiup kencang, produksi pertanian sedang.
      Berdasarkan lontara bahwa tahun 2011 atau tahun 1431 Hijriah termasuk tahun “Wau” dimana kondisi iklimnya adalah; intensitas hujan panjang, terjadi banjir, hama tikus dan walang sangit menyerang dan intensitas angin cukup tinggi serta produktivitas padi rendah.
Kenyataan saat ini bahwa curah hujan cukup panjang dengan intensitas curah hujan yang tinggi dan hampir tidak ada masa jedah antara musim hujan dan musim kemarau, dan banjir sebagian melanda jazirah Sulawesi, hama tikus menyerang persawahan. Sehingga sebagian orang beranggapan bahwa iklim saat ini tidak dapat diprediksi lagi, susah membedakan antara musim hujan dan musim kemarau. Padahal buku lontara telah meramalkan tahun ini adalah tahun 2011 adalah tahun “wau” (Maserroi bosinna, maserroi anginna, manre balaoe enrengnge ulae).

Ramalan Produksi Padi versi Lontara
Ritual Adat Petani Bugis-Makassar
      Untuk membuktikan ramalan lontara bahwa pada tahun 2009, bertepatan dengan tahun 1430 Hijriah, merupakan tahun peralihan dari tahun Daleng Riolo ke tahun Ba yang mana produksi hasil pertanian cukup tinggi, karena didukung dengan iklim yang baik, dimana kemarau lebih pendek dan musim hujan dengan intensitas sedang. Terbukti bahwa produksi pertanian di Sulawesi Selatan cukup berhasil pada tahun 2009/2010.

       Berdasarkan ramalan lontara bahwa tahun 14 Desember 2010 akan memasuki tahun Dal Ri-monri dan berakhir pada November 2011, dimana karakter iklimnya adalah musim hujan pendek, kemarau panjang, angin bertiup cukup tinggi dan produksi pertanian sedang. Tahun Alif mulai akhir tahun 2011 sampai dengan awal Desember 2012, dan diprediksi hasil pertanian tinggi. Karakter iklim tahun alif adalah kemarau lebih awal dan singkat, intensitas hujan tinggi, pertumbuhan padi baik, hama kurang dan produktivitas padi tinggi. Jadi diantara 8 (delapan) tahun yang tertuang dalam lontara, maka tahun alif merupakan tahun yang paling produktif, kemudian tahun Ba’, sedangkan tahun paling rendah hasilnya adalah tahun shod dan tahun wau.

      Selain itu, sistem pertanian tradisional versi lontara juga mengenal masa tanam yakni “lamacitta golla”, “latamma bombang”, “latulekkeng eppang” dan “langgere tule”. Masing-masing masa tanam ini ditentukan berdasarkan posisi letak bintang “salaga, tanra tellue, worong porong, dan pannina manue”. Metode penentuan masa tanam adalah ketika bintang tepat berakumulasi pada saat mata hari terbenam atau waktu memasuki magrib.

      “Lamaccitta golla” adalah masa tanam awal untuk varietas panjang berkisar 120 hari. Masa tanam ini berkisar bulan pertengahan Februari adalah persemaian benih dan masa tanamnya mulai, namun pantangannya adalah menanam padi akhir Februari. Dengan demikian padi akan dipanen pada pertengahan Juli. Tanda dan isyarat yang dilihat adalah tumbuh “serri awerrang” rumput menyerupai padi di areal persawahan dan “tanra tellue” persis berkulminasi pada saat matahari terbenam (pukul 7 malam).

      “Latamma bombang”, isyarat yang dapat dilihat adalah ketika air ditengah sawah tidak sedang diteduh, tidak beriak lagi. Masa hambur benih pada minggu ke-III Februari dan masa tanaman awal April.

      “Latulekkeng eppang” adalah masa tanam ke tiga dengan isyarat “Makatenni assoe” (sinar matahari mulai cerah) dan bintang “Pannina manue” mulai condong ke barat. Masa ini akhir April, dan masa tanam ini yang paling terakhir. Kalaupun ada yag menanam padi setelah ini, petani bugis menyebutnya “langerre tellu”, artinya jika ada yang menanam berarti tanaman padi hanya menghasilkan pakan ternak atau kekeringan.

      Banyak hal yang dapat dipetik dan dipelajari di dalam buku pertanian lontara bugis sebagai kearifan lokal, yang perlu dikaji lebih dalam oleh para pakar klimatologi pertanian, budidaya dan hama penyakit, karena pengetahuan asli, tentunya sesuai dengan kondisi setempat. (mkb)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar